Rabu, 28 Januari 2015

Candi prambanan

Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan, Klaten,
 
 1. kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta

2. Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.

3. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.

4. Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').

 Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).

Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.

bukit kedamaian kraton ratu boko yogyakarta

  Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Berada di istana ini, anda bisa merasakan kedamaian sekaligus melihat pemandangan kota Yogyakarta dan Candi Prambanan dengan latar Gunung Merapi.

Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2 terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.

Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan 'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.

Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.
Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya. YogYES menyarankan anda berkunjung ke Candi Prambanan sehari sebelum Nyepi jika ingin melihat proses upacaranya.

Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.

Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu.

Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa. Setelah ia kalah dan melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain.

 Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang tertinggal hanya batur-batur dari batu saja. Telusurilah istana ini, maka anda akan mendapatkan lebih banyak lagi, salah satunya pemandangan senja yang sangat indah. Seorang turis asal Amerika Serikat mengatakan, "Inilah senja yang terindah di bumi."

sejarah kota madiun jawa timur

   Kabupaten Madiun, berdiri pada tanggal paro terang, bulan Muharam, tahun 1568 Masehi tepatnya jatuh hari Karnis Kilwon tanggal 18 Juli 1568 / Jumat Legi tanggal 15 Suro 1487 . Sejarah berawal pada masa kesultanan Demak, yang ditandai dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Patiunus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan Dolopo. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke desa Sogaten dengan nama baru Purabaya (sekarang Madiun). Pangeran Surya Patiunus menduduki kesultanan hingga tahun 1521 dan diteruskan oleh Kyai Rekso Gati.

Pangeran Timoer dilantik menjadi Supati di Purabaya tanggal 18 Jull 1568 berpusat di desa Sogaten. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah seorang Bupati dan berakhirlah pemerintahan pengawasan di Purabaya yang dipegang oleh Kyai Rekso Gati atas nama Demak dari tahun 1518 - 1568.

Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari desa Sogaten ke desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590.
Pada tahun 1686, kekuasaan pemerintahan Kabupaten Purabaya diserahkan oleh Bupati Pangeran Timoer (Panembahan Rama) kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.. Bupati inilah selaku senopati manggalaning perang yang memimpin prajurit-prajurit Mancanegara Timur.

Pada tahun 1586 dan 1587 Mataram melakukan penyerangan ke Purbaya dengan Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kesil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)

Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawidjaja dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawidjaja dan diboyong ke istana Mataram di Pleret (Jogyakarta) sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purbaya tersebut maka pada hari jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama '' Aca Purbaya '' diganti menjadi Madiun

Rabu, 07 Januari 2015

Petunjuk Jalan ke Kampung Naga Tasikmalaya

 Kampung Naga


Kampung Naga Tasikmalaya adalah salah satu kawasan wisata adat yang patut dipertahankan sampai kapanpun karena didalamnya menyimpan banyak jejak sejarah masa silam. Alamat lengkap Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya berada pada titik Koordinat -7.363722 S, 107.994425 E. Sejatinya Kampung Naga ini tidak hanya menarik para wisatawan lokal namun juga wisatawan asing yang tiap tahunnya makin meningkat jumlahnya. Untuk sampai di kampung ini maka Anda harus menuruni sebuah tembok atau tepatnya sebuah tangga dengan lebar sekitar 2 meter dan panjangnya 500 meter karena memang kampung adat ini berada di bawah perbukitan hijau yang ada di hulu Sungai Ciwulan.

Rmah adat Kampung Naga Tasikmalaya

Menurut warga setempat setiap harinya ada sekitar 20-an orang asing yang berkunjung ke kampung warisan ini. Di sini memang tidak ada atraksi khusus untuk menyambut atau menghibur para wisatawan. Kalau ada bukanlah diperuntukkan bagi para pengunjung melainkan sebagai bentuk pertunjukkan warga lokal saja. Adapun para turis yang berkunjung ke sini tujuannya untuk menelisik kehidupan tradisional masyarakat lokalnya dengan segenap warisan adat dan budayanya. Tradisi adat yang masih lekat dan dipertahankan ialah dengan keberadaan rumah-rumah adat mereka yang berbentuk rumah panggung dengan berdindingkan bambu.

Atapnya sendiri terbuat dari ijuk karena memang tidak boleh menggunakan genteng. Ukuran rumahnya sendiri 5 x 8 meter yang sengaja hanya menghadap ke dua arah yakni utara dan selatan. Bentuk atapnya juga semuanya dua arah dan tidak boleh ada yang menggunakan jure atau tiga arah. Filsafat kehidupan yang mereka pertahankan ialah selalu damai dan membuang jauh-jauh perselisihan. Untuk lebih mengetahui dengan jelas perihal sega keunikan yang ada di Kampung Naga ini sebaiknya Anda langsung berkunjung ke kampung ini!
Wisata Kampung Naga Tasikmalaya

Sebagai pandu wisata menuju lokasi Kampung Naga, +didah sahidah akan memberikan petunjuk jalan agar anda tidak tersesat.

Transportasi Menuju Kampung Naga
Bisakah dari Jakarta atau Bandung ke kampung Naga menggunakan kendaraan umum? Jawabannya tentu bisa dan Sangat mudah untuk mencapai lokasi Kampung adat ini. Walaupun sebenarnya Kampung Naga berada di Tasikmalaya namun pengunjung yang berasal dari Jakarta disarankan untuk melewati rute Garut karena dianggap lebih mudah.
Dari Jakarta naik bus Karunia Bakti, bisa juga bus Diana Prima, Sonny Prima atau Saluyu Prima jurusan Kampung Rambutan-Garut-Singaparna yang berada di terminal Kampung Rambutan. Nanti anda bilang ke Supir atau kondektur agar di turunkan di Lokasi Kampung Naga.
Jika berangkat dari Bandung ke Kampung Naga dapat menggunakan bus Diana Prima atau Sonny Prima yan berada di Terminal Cicaheum Bandung. Bus ini melayani trayek Bandung-Garut-Tasikmalaya(singaparna). Nanti kita akan turun langsung di Kampung Naga.

Sedangkan bagi yang menggunakan Kendaraan pribadi, ini dia petunjuk jalannya.
Rute dari Jakarta ke Kampung Naga
Tol Jakarta-Cikampek -> pada KM. 67 menuju Tol Purbaleunyi (Cipularang) -> Gerbang Tol Cileunyi -> Keluar Cileunyi dilanjutkan menuju Nagreg -> menuju arah Garut Kota -> ke arah Cilawu -> Lokasi Kampung Naga.
Petunjuk Jalan dari Bandung ke Kampung Naga
Dari Kota Bandung menuju Cileunyi -> Rancaekek -> lanjut ke arah Nagreg > - arah Leles dan Garut Kota -> lalu ke Cilawu -> sampai di Kampung Naga.
Dari kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur melalu Cirebon
ke Cirebon -> Cilimus -> lalu ke Kuningan -> melewati Waduk Darma -> dilanjutkan ke Cikijing -> Kawali -> ke daerah Ciamis Kota -> melewati Sindang Kasih -> lalu ke Tasikmalaya Kota -> Mangkubumi -> Singaparna -> Mangunreja -> Salawu -> dan sampailah di Kampung Naga.

tugu kujang di kampung nagaSaat sampai kita akan melihat sebuah tugu Kujang raksasa. Tentunya ini bukan sebatas tugu biasa, sejarah dari tugu kujang tersebut dibuat dan ditempa oleh 40 empu pembuat kujang dari bahan baku yang berasal dari leburan berbagai macam senjata pusaka yang dimiliki 900 para Raja Sunda dan Raja Nusantara pada masa pemerintahan Prabu Sri Pamekas tahun 1338 M dan Prabu Surya Amiluhur yang memerintah pada tahun 1248 M.

Dari tugu ini para pengunjung mulai berjalan kaki menyusuri tangga berbatu yang menurun ke Kampung Naga. Sebuah perjalanan yang sangat indah yang dikelilingi keindahan panorama sawah yang menghijau.

Demikian ulasan objek wisata Budaya kampung Naga semoga dapat memberi gambaran serta membantu kelancaran perjalanan wisata anda semuanya. Tips sederhana - jika ingin menginap di kampung naga maka disarankan untuk membawa lampu senter dan sejenisnya mengingat di tempat tersebut tidak ada listrik. Tips yang kedua jadilah wisatawan yang ramah, selalu menjaga sikap dan mengikuti aturan yang diberlakukan di kampung Naga tersebut

Sejarah Kampung adat Kuta Ciamis

  Kampung Kuta Ciamis

 
Berawal dari cerita dan melihat di televisi admin sangat tertarik dengan Kampung Kuta. Sengaja admin mendatangi tempat tersebut untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai Kampung Kuta. Ditelusuri melewati desa dan kecamatan Tambaksari admin menaiki sebuah sepeda motor. informasi yang admin peroleh dari beberapa tokoh mengatakan bahwa kampung Kuta Secara administratif berada di pemerintahan Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat,
dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijolang yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Sejarah Kampung Adat Kuta Ciamis
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara dan dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah atau Tambaksari. Dari Kecamatan Rancah tepatnya di pertigaan Cibarengkok bisa menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Cisaga dapat menggunakan kendaraan umum yaitu Angdes yang melalui kawasan Ciawitali desa Girimukti sekitar memakan waktun 1 Jam.
Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama Tenjolaya.
Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana .
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.
Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara.
Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya. Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi.
Diceritakan bahwa bekas kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela.
Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing.
Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta.
Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.
Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris.
Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan.
Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut.
Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mistis dan ternyata di Kampung Kuta masih aAda Larangan-larangan dan Tradisi Adat yang Masih Dipertahankann.
Kampung ini dikatagorikan sebagai kampung adat, karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya. Salah satu warisan ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus dari bahan rumbia atau ijuk.
Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya mahluk halus atau kekuatan gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat berupa hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan keramat tersebut tidak boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan.
Sejarah Kampung Adat Kuta Ciamis
Untuk memasuki wilayah hutan keramat tersebut diberlakukan sejumlah larangan, yakni larangan memanfaatkan dan merusak sumber hutan, memakai baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh. Bahkan untuk memasuki Hutan Keramat ini pun tidak boleh memakai alas kaki, Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik. Di pinggir hutan banyak mata air yang bersih dan sering digunakan untuk mencuci muka.
Masyarakat Kampung Kuta mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi “kuta” atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahulu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari.
Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat.
Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka.
Larangan-larangan lain yang berlaku di luar wilayah hutan keramat tapi masih termasuk wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti larangan membangun rumah dengan atap genting, larangan mengubur jenazah di Kampung Kuta, larangan memperlihatkan hal-hal yang bersifat memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan, larangan mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang. Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan menyebabkan celaka bagi mereka yang melanggarnya. Norma adat dan agama memiliki intensitas dan “kekuatan” yang seimbang sebagai pedoman dalam melangsungkan kehidupan secara keseluruhan.
Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan cara menggali atau mengebor tanah.
Kedekatan masyarakat kampung adat dengan alam tidak hanya itu saja setiap tahunnya masyarakat kampung Kuta mengadakan Upacara Adat nyuguh. Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya. Upacara ini bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang telah memberikan pangan bagi masyarakat kampung Kuta.
Kampung adat ini dihuni masyarakat yang hidup dilandasi kearifan lokal. Dengan memegang teguh budaya, pelestarian lingkungan di kampung ini bisa menjadi contoh bagi kita semua untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan berpegang teguh kepada budaya lokal.

Selasa, 06 Januari 2015

Galeuhna Galuh Ciamis

Galeuhna Galuh

PURWA WACANA

Semoga Tatar Galuh beserta seluruh para pemimpin dan penduduknya selalu mendapat kesejahteraan seperti yang pernah dialami ketika Sang Prabu Niskala Wastu Kancana (1371- 1475 M) memerintah di negeri Kawali - Galuh.

Untuk memahami seluruh aspek kehidupan Urang Sunda, terutama pada tataran filosofi pandangan hidupnya, tidak akan terlepas dari "lingga-lingga Kasundaan" yang telah dipancangkan para leluhur Galuh - Kawali. Sejak Kerajaan KENDAN yang diawali Sang Manikmaya (536-568M) di kerajaan KENDAN; selanjutnya oleh Sang WRETIKANDAYUN (612-702M) pendiri Kerajaan GALUH sampai dengan SANG PRABU NISKALA WASTU KANCANA (1371-1475 M) dan dilanjutkan oleh cucundanya Sri Baduga Maharaja - Prabu Jayadewata - Prabu Siliwangi - Pamanah Rasa (1482-1521 M).

Di wilayah Tatar Sunda tersebar prasasti-prasasti peninggalan leluhur Sunda. Diantaranya yang sangat menarik minat para peneliti kebudayaan Sunda, adalah prasasti yang ada di Tatar Ciamis, yaitu di Astana Gede - Kawali, Telah banyak pakar filologi, arkeologi dan sejarah yang menekuni situs di Astana Gede, sejak K.F. Holle (1867 M) sampai dengan para sejarawan yang kemudian. Bermacam penafsiran terhadap isi prasasti telah dikemukakan para pakar. Tentu saja apa pun penafsiran yang telah dibuat itu akan berdampak positif bagi keberadaan peradaban masyarakat Tatar Sunda/Jawa Barat.

Penulis berkeinginan benar untuk mencoba menafakuri makna yang terkandung dalam prasasti di Astana Gede ini, khususnya pada prasasti yang pertama dan prasasti kedua (yang baru ditemukan pada bulan Oktober 1996). Asumsi penulis bahwa apa yang ditulis di atas permukaan batu dengan bersusah payah itu, tentulah mengandung maksud dan makna yang sangat dalam. Tentulah berisikan amanat dari para leluhur untuk keturunannya. Apakah esensi nilai-nilai yang hendak diamanatkannya itu? Adapun penafsiran dan pemaknaan yang penulis lakukan berdasarkan kajian "semiotica dan heurmanetica" dalam idiomatik kearfian urang Sunda disebut dengan Panca Curiga (5 senjata untuk memaknai) yaitu analisis berdasarkan Silib sindir, Suluk, Simbul, Siloka dan Sasmita. Oleh karenanya penafsiran bisa sangat subyektif-individual. Walau demikian, semoga saja : "Sasieureun sabeunyeureun aya pimangpaateunana".

Pun
Seja muka nu dituruban ku mandepun,
dibuka bari ngaliwat,
nu menta dilalakonkeun
Pun sapun.

Prasasti batu yang pertama, terdiri dari 10 baris, ditulis dengan aksara Sunda:
(Sumber acuan adalah wacana dalam Sejarah Jawa Barat Untuk Pariwisata I - Priangan Barat - Priangan Timur - Cirebon. Diperbanyak oleh: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Jawa Barat. TT. Hal. 42)

nihan tapa kawa-
li nu sya mulia tapa bha-
gya parebu raja was-
tu mangadeg di kuta kawa-
li nu mahayu na kadatuan
surawisesa nu marigi sa-
kulili(ng) dayeuh nu najur sagala
desa aya ma nu pa(n)deuri pakena
gawe rahayu pakeun heubeul ja-
ya dina buana


"Inilah (tanda peringatan) pertapa Kawali, ialah yang memperoleh kebahagiaan dari bertapa, Prabu Raja Wastu yang berkuasa di kota Kawali; yang memperindah keraton Surawisesa, yang memperkokoh pertahanan sekeliling ibu kota dengan parit, yang memakmurkan segenap daerah; semoga ada yang (berkuasa) kemudian mengikuti kebajikannya, supaya lama hidup di dunia"

Kata yang penulis tebalkan menjadi penanda/kata kunci dalam perbincangan pada forum yang mulia ini, yaitu:


* tapa > bertapa > pertapa = Untuk masyarakat Sunda lama, pengertian TAPA adalah berkarya/bekerja (lihat Kropak 632 - Naskah Ciburuy, yang menuliskan bahwa ...amal itu sama dengan TAPA, buruk amal buruklah TAPA... (Atja & Saleh Danasasmita, 1981:31,38)
* mahayu = memperindah, menyiratkan kesadaran akan lingkungan hidup, tata ruang dan permukiman yang serasi dan indah.
* marigi = membuat parit untuk pertahanan (dan mungkin untuk irigasi, pengairan) sekiling kota. Hal ini pun menyiratkan kesadaran tata ruang dan permukiman serta ketahanan wilayah.
* najur = memakmurkan, mensejahterakan kehidupan penduduk negeri. Hal ini pun berkaitan dengan kesadaran lingkungan hidup.
* aya ma = semoga ada... Frasa wacana ini menyiratkan akan adanya KEKUATAN GAIB yang lebih berkuasa dan menentukan segala sesuatu, dengan penggunaan kata "SEMOGA". Di dalamnya ada kesadaran religius dan persaaan kerendahan hati.
* pa(n)deuri = yang datang kemudian, baik sebagai pemimpin maupun rakyat seluruhnya. Hal ini menyiratkan adanya kesadaran proses regenerasi dan kaderisasi bagi terwujudnya generasi penerus yang lebih unggul.
* gawe rahayu = mengerjakana kebajikan; mengerjakan sesuatu yang baik sampai tuntas.
* heubeul jaya dina buana = supaya lama dikenang di dunia. Hal ini menyiratkan kesadaran bahwa hanya dengan KERJA (TAPA) yang baik sampai tuntaslah yang akan menyebabkan nama kita dikenang selamnya.


Prasasti batu kedua, terdiri dari 2 baris:

iweu ulah botoh
bisi kokoro

"Ingatlah jangan berjudi/serakah, nanti bisa sengasara"


* iweu > ieuh (kata seru, imperatif) = ingat\lah, perhatikanlah
* botoh > bobotoh = 1) berjudi 2) serakah 3) memprovokasi
* kokoro = amat sengsara


Bisa dimaknai bila seseorang serakah, tidak hanya dirinya saja yang sengsara, tetapi masyarakat sekitarnya pun akan terimbas kesengaraan tsb. Misalnya saja keserakahan dalam mengeksploitasi lingkungan alam, akan menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakatnya.


PUNGKAS WACANA
Ternyata amanat dari Prabu Niskala Wastu Kancana yang telah bersusah payah ditorehkan di permukaan sekeping batu, merupakan filosofi yang mendasari kesadaran hidup yang demikian bernilai. Kalimat-kalimat pendek, yang substansial dan sangat menghargai kualitas manusia yang manggapulia tersiratkan dengan jelas. Isi (GALEUH) dari prasasti inilah yang menjadi PERMATA (GALUH) filosofi wilayah yang kini dinamai Kabupaten Ciamis.
Bahagialah masyarakat Tatar Galuh dan Tatar Sunda/Jawa Barat/NKRI bila mampu mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya dalam perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pun
PAKENA GAWE RAHAYU
PAKEUN HEUBEUL JAYA
DINA BUANA

Kerajaan Galuh (Ciamis)

Sejarah Kerajaan Galuh (Ciamis)

Pengantar

Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-16 – awal tahun 1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang panjang itu sampai sekarang masih belum terungkap secara komprehensip, bahkan beberapa bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”. Selain itu, sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos atau legenda, sehingga ceritera tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat beberapa versi.


Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Pemda Kabupaten Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah daerahnya sendiri. Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh, antara lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan meneliti sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi uraiannya hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.

Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah “obor kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.


Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah Galuh, antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera Galuh.

1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh

“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras. Pengertian mana yang tepat dari kata “galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu memerlukan kajian secara khusus dan mendalam.

2. Galuh Masa Kerajaan

Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi ceritera tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian awal, penuh dengan mitos. Hal itu disebabkan ceritera itu berasal dari sumber sekunder berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya, Wawacan Sajarah Galuh antara lain menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di Lakbok dan pertama kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat Kerajaan Galuh pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh. Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan saudaranya Hariang Banga. Perselisihan itu berakhir dengan permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit. Selama belum ada sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi guru sejarah, ceritera yang bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan catatan harus benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu adalah mitos yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan).

Ceritera tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam sumber primer berupa prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak jauh dari peristiwa yang diceriterakannya), dan sumber lain yang akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama satu daerah di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh (Purbalingga), Rajagaluh (Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam panggung sejarah pada abad ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa Barat berdiri Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d abad ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

Nama kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh karena itu, tidak heran bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh, kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga pusat/daerah inti Galuh waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad ke-14) diperintah oleh Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat, raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan raja itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.



Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran berada di bawah kekuasaan Banten.

Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka (1579/1580 – 1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh, putera Prabu Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah timur. Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan yang sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di tempat-tempat tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.


3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram

Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh berada di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan ke dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di Garatengah (daerah sekitar Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta Permana yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat pusat-pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai bupati dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.

Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang (1620) dalam usaha menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh Adipati Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh Cipta Permana, selaku Bupati Wedana. Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda. Galuh dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena berserah diri, antara lain karena adanya hubungan keluarga antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.

Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia dan meminta bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi perselisihan di antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati Panaekan berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang, putera Prabu Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625). Ia digantikan oleh puteranya bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam). Pada masa pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).

Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia (1628), kepala daerah di Priangan memberikan bantuan. Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk mengusir Kompeni dari Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap Mataram.

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.) (daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan 1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga (1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun He (12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan Bendanegara memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi pusat pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang berlangsung selama 42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain, yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai perbatasan Sukapura.

Setelah Adipati Jayanagara meninggal, kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi tidak lama kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya. Sementara itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya. Dipati Kertabumi yang semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-bakal bupati Karawang.

Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal, Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap kabupaten), antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar.



4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur)

Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur diserahkan oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam sistem yang disebut Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada Kompeni sebagai upah membantu mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni membantu Pangeran Puger dalam usaha merebut tahta Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.

Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia kemudian diganti oleh Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran Aria Cirebon sebagai wakil Kompeni.

Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.

Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732). Oleh karena ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh tiga orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri mulai tahun 1751 hingga tahun 1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma (1801-1806).

Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Imbanagara dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah itu diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu terjadi akibat konflik antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang bersikap dan bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon. Kedudukannya sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811).

Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada dasarnya tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1808-1942).


5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC bangkrut. Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.

Pada akhir masa pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811). Bupati Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara, merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang oleh putera Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati Wiradikusuma memindahkan ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.

Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah (1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati Adikusumah menikah dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian menggantikan ayahnya menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti nama menjadi Raden Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang dikenal dengan julukan “Kangjeng Prebu”.

Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga yang dilengkapi oleh sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di halaman keraton dibangun tempat pemandian yang disebut Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan maksud “ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877, dibangun beberapa gedung di pusat kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup megah (di lokasi Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan lain-lain.

Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun jalan antara Kawali – Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran berwarna kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).

Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa pemerintahan bupati ini, mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur Bandung – Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata (1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon dan masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke dalam Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan Garut, dengan ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.


6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis

Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun He atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota kabupaten itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah Kabupaten Galuh mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.

Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?

Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis, pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat. Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon.

Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.

Napak Tilas Kerajaan Galuh Ciungwanara (karangkamulyan)

KARANGKAMULYAN : Napak Tilas Kerajaan Galuh 

 

 

Karang Kamulyan adalah salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Ciamis. Cagar budaya yang luasnya hamper 25 Ha ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis.Berbicara mengenai Karang Kamulyan, fikiran kita akan langsung tertuju pada sebuah situs peninggalan sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jilid III, situs adalah daerah temuan benda-benda purbakala.Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur. Memang sampai sekarang belum ada bukti otentik mengenai apakah di situs ini dulunya merupakan pusat kerajaan Galuh atau bukan, tapi kalau kita kaitkan dengan kepercayaan atau agama yang berkembang saat itu yaitu agama Hindu, daerah ini memang cocok dijadikan pusat kerajaan Galuh karena berada dekat pertemuan dua sungai tersebut.Kosoh S, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Daerah Jawa Barat mengemukakan:

“… apabila ditinjau dari sudut pandang keagamaan dalam hal ini agama Hindu, Karang Kamulyan adalah sebuah tempat yang letaknya sangat baik, yaitu pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy”.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa penduduk setempat dan juga Babad Galuh menganggap bahwa Karang Kamulyan itu juga merupakan pusat Kerajaan Galuh karena dilihat dari arti katanya sendiri, Karang Kamulyan artinya tempat yang mulia atau tempat yang dimuliakan.

Para sejarawan dapat menyimpulkan bahwa agama yang dianut pada masa Kerajaan Galuh adalah agama Hindu karena berdasarkan Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh Raja Galuh adalah sewabakti ring batara upati. Upati berasal dari bahasa Sansekerta utpati atau utpata, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa agama Hindu dari mazhab Siwa. (Nugroho Notosusanto ; 1993 : 358)

Berbicara mengenai Karang Kamulyan, kita tidak bisa terlepas dari cerita Ciung Wanara, menurut masyarakat setempat kisah ini memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.

Masa kecil Ciung Wanara dibesarkan oleh kakeknya Aki Balangantrang. Setelah dewasa, Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan bernama Dewi Kancana Wangi, dan dikaruniai puteri yang bernama Purbasari yang menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.

Dalam usahanya merebut kerajaan Galuh dari tangan Sang Tamperan, Ciung Wanara dibantu oleh kakeknya yaitu Aki Balangantrang yang mahir dalam urusan peperangan dan kenegaraan bersama pasukan Geger Sunten. Perebutan kerajaan ini konon tidak dilakukan dengan peperangan, tapi melalui permainan sabung ayam yang menjadi kegemaran raja dan masyarakat pada saat itu. Ciung Wanara memenangkan permainan ini dengan mudah.

Ciung Wanara memerintah selama 44 tahun (739-783 Masehi), dengan wilayah dari Banyumas sampai dengan Citarum, selanjutnya setalah Ciung Wanara melakukan manurajasuniya (mengakhiri hidup dengan bertapa), maka selanjutnya kerajaan Galuh dipimpin oleh Sang Manistri atau Lutung Kasarung, menantunya. Ciung Wanara disebut juga Sang Manarah, atau Prabu Suratama, atau Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana.

Sekarang kita kembali ke Situs Karang Kamaulyan, AMDG dalam situsnya www.navigasi.net menyebutkan bahwa kawasan ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu.Batu-batu yang ada di lokasi ini memiliki nama dan kisah. Nama-nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh.

Pangcalikan

Situs pertama yang akan kita lewati apabila kita masuk ke Cagar Budaya ini adalah Pelinggihan (Pangcalikan). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni (tempat pemujaan) yang letaknya terbalik dan digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen (kubur batu). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.

Sahyang Bedil

Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat. Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitikum. Menurut kepercayaan masyarakat, Sanghyang Bedil kadangkala dapat dijadikan sebagai pertanda akan datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi. Di samping itu senjata memiliki arti perlambangan tersendiri yang telah dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Senjata merupakan lambang dari hawa nafsu. Arti filsafatnya adalah bahwa hawa nafsu sering menyeret manusia ke dalam kecelakaan ataupun kemaksiatan.

Penyabungan Ayam

Tempat ini terletak di sebelah selatan Sanghyang Bedil. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.

Lambang Peribadatan

Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 x 0.6 m. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu. Masyarakat menyebutnya sebagai lambang peribadatan atau lambang keagamaan, karena dilihat dari bentuknya yang mirip dengan stupa.

Panyandaran

Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.

Masyarakat mempunyai mitos pada tempat ini. Sebagian masyarakat percaya bahwa kalau ada ibu-ibu yang belum dikaruniai anak dan ingin mempunyai anak, maka harus bersandar di tempat itu.

Cikahuripan

Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.

Makam Dipati Panaekan

Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga.

Dipati Panaekan adalah putra kedua dari Cipta Permana (Prabu di Galuh) Raja Galuh Gara Tengah, ia wafat karena dibunuh oleh adik iparnya sendiri yang bernama Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I) karena perselisihan paham dalam rangka penyerbuan Belanda ke Batavia dimana Panaekan condong ke pendapat Dipati Ukur sedangkan Singaperbangsa condong ke pendapat Rangga Gempol. Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan ke Cimuntur dan diangkat lagi dipertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy lalu dikuburkan di Karang Kamulyan.

Menurut juru kunci Karangkamulyan, Endan Sumarsana, didaerah karangkamulyan ini juga terdapat sebuah ”highway” Padjajaran atau disebut juga jalan raya yang menghubungkan Padjajaran dengan daerah-daerah disekitarnya. Jalan raya ini dimulai dari pusat kerajaan Padjajaran, kemudian ke Cileungsi, Cibarusa, Warunggede, Tanjung Pura, Karawang, Ciakao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedanglarang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, Kawali dan berakhir di Karangkamulyan. Sekarang sisa dari jalan raya ini tidak dapat kita lihat karena sudah berubah menjadi pemukiman penduduk. Sekarang ini, masyarakat disekitar Karangkamulyan mempunyai tradisi yang unik setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Mereka menamai tradisi ini dengan istilah ”Mager”. Tradisi ini dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh Kuncen atau juru kunci Karangkamulyan, setelah itu masyarakat saling bersilaturahmi dan makan bersama di lokasi tersebut. Masyarakat juga membawa bambu dan menggunakan bambu tersebut untuk membuat pagar bambu mengelilingi pancalikan. Kegiatan ini juga mempunyai arti tersendiri yaitu memagari atau membentengi umat muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa dari gangguan setan yang akan terus menggangu umat manusia.

Batu tulis di Citapen Ciamis

   Batu tulis di Citapen 

Hari Minggu malam tanggal 29 September 2008 dikampung halaman istri tersayang di tepian sungai Cisanggarung - Cirebon , saya sangat gelisah . Bagaimana tidak besok pagi-pagi sekali setelah sahur saya akan mendatangi sebuah Batu bertulis (Rock Art) yang letaknya tepat diperbatasan Kabupaten Kuningan dengan Kabupaten Ciamis. Batu bertulis ini memang kurang dikenal masyarakat, tapi rasa penasaran saya untuk mengunjunginya begitu menggebu.

Perjalanan ini bukan yang biasanya , karena menurut informasi bila ingin mempersingkat perjalanan harus menyeberangi sungai yang belum ada jembatannya, dengan kata lain saya harus menyeberangi sungai mempergunakan rakit. daripada mempergunakan mobil yang harus memutar melalui jalan raya Cirebon-Ciamis , membelok di Hayawang ( Sebelum Kecamatan Kawali ) menuju Kecamatan Rancah melalui Kecamatan Rajadesa-Ciamis.

Dengan tidak bersusah payah merayu adik ipar untuk pinjam motornya , saya akhirnya berangkat menuju Dusun Citapen Pasir , Desa Sujaya , Kecamatan Rajadesa ( Lebih dekat dari Kecamatan Rancah ) yaitu tempat Situs Citapen berada di Kabupaten Ciamis , tepat pada jam 5.30 pagi ( setelah sahur ).
Catatan :
Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis pada DAUN NIPAH, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di PERPUSTAKAAN BODLEIAN di Oxford sejak tahun 1627 ( diteliti dan di terjemahkan oleh Noorduyn tahun 1968 :469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Yang menjadi tokoh dalam naskah ini adalah PRABU JAYA PAKUAN alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang, walaupun merupakan seorang prabu pada keraton Pakuan Pajajaran (ibu kota kerajaan, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota Bogor), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah singgah di Bali untuk beberapa lama serta ke Pulau Sumatera. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya. Jelas sekali , dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari jaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka dan Demak Demak memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa naskah ini ditulis dalam akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau Jawa pada sekitar abad ke-15. Lebih dari 450 nama tempat, gunung dan sungai disebutkan dalam naskah. Sebagian dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan sampai sekarang.


Nyebrang Sungai Cijolang dengan Rakit.
Setelah melewati Waduk Darma (Kuningan) yang pemandangannya lumayan bagus lalu saya menuruni bukit yang bverkelok - kelok dan menerobos batas Kecamatan CIKIJING yang merupakan wilayah Kabupaten Majalengka , jalan akhirnya mulai menanjak dan tibalah diatas bukit yang saya lupa namanya lalu motor saya belokan kekiri untuk untuk menuju ke Desa Cebeurung.
Didesa cibeurung setelah tanya sana - tanya sini dan melewati jalan yang cuma bisa dilalui motor , saya tiba ditepi sungai Cijolang yang merupakan batas wilayah Kabupaten Kuningan dengan Kabupaten Ciamis. diseberang sungai yang secara admisnistratif sudah masuk ke wilayah Kabupaten Ciamis, jalan kembali menukik keatas menuju bukit di Dusun Citapen Pasir Desa Sujaya.


Keadaan Kabupaten Ciamis yang berbukit - bukit.
Setiba di Dusun Citapen saya kembali tanya-tanya tentang letak keberadaan batutulis itu, akhirnya ditunjuk bahwa batu itu berada tepat dibawah Pabrik penggergajian kayu . Setelah berterima kasih saya tancap gas kembali menaiki bukit. Setelah sampai pabrik itu ..kok enggak ada orang alias kosong melompong ( mungkin libur idul fitri ). Jalan juga sepi , petunjuk enggak ada.. syukur..setelah 5 menit ada penduduk lokal yang mau antar saya ke batu itu.



Desa Cibeurung dilihat dari tepian Bukit ( di lokasi Batu bertulis)
tebing Barat Laut Gunung Sangkur - Ciamis.

Penduduk lokal yang antar ke Situs Citapen.

Guratan membentuk Jari tangan di dinding batu di Batutulis Citapen (I).

Gambar dalam bentuk Embosh (menonjol keluar) di Batutulis Citapen (II)


Tulisan yang ada di Batutulis Citapen (III)


BATU TULIS ( ROCK ART ) CITAPEN
  merupakan salah satu peninggalan dari manusia Purba jaman Pliosen Bawah ( 700.000 s/d 1.000.000 tahun yang lalu ). Arkeologi ternama dari Belanda KROM pernah berkunjung ke situs ini pada tahun 1914.
Lalu dari Team Balai Arkeologi Bandung yang di ketuai oleh Drs. Nanang Saptono juga pernah menelitinya. Terakhir adalah Prof Dr.Michael Morwood dari Departement Of Archeology & Palaenthopology , Australian New South Wales University pernah berkunjung kesini.
Memang di wilayah Rancah - Ciamis banyak sekali peninggalan- peninggalan jaman purba diantaranya :
1. Gigi taring manusia purba di Tambaksari , Rancah - Ciamis , dengan ciri - ciri Otak sekitar 1.100 cc tak punya dagu dan kening ( lebih tua dari usia fosil di Gua Pawon , Padalarang yang volume otak sudah agak besar yaitu sekitar 1.600 cc dan sudah mempunyai dagu dan kening dan hidup sekitar 6000 s/d 7000 tahun yang lalu ).
2. Fosil hewan Vertebrata berupa rahang dan taring dari Hippopotamus ( Kuda Nil )
3. Peralatan Manusia Purba (Paleolitik) seperti Kapak Perimbas dan Kapak Penetak. Kebetulan dahulu kakek saya juga pernah memiliki kapak jenis ini dengan warna Hijau Muda (seperti Giok Korea) dan penduduk di Rancah menyebutnya Gigi Petir yang tertinggal sewaktu menyambar Bumi .
Dengan berkunjung ke Situs Batutulis Citapen ini, saya yang tadinya hanya menyenangi Peninggalan-peninggalan Sunda dari Jaman Sejarah saja sekarang juga menjadi menyenangi peninggalan jaman Prasejarah.

sejarah rancah_ciamis

NAMA RANCAH LEBIH TUA DARIPADA CIAMIS 
 
Pembahasan mengenai Rancah memang sudah tak asing lagi di berbagai media, baik cetak maupun elektronik termasuk dunia maya atau yang sering disebut Internet, nama RANCAH sudah mencuat di Blogger-blogger atau website. Inilah salah satu daya tarik kenapa Rancah banyak dikunjungi dan banyak menjadi pokok bahasan utama. 
Begitu pula dalam Hasanah Jaya edisi ini kami angkat kembali daerah Rancah. Desa Rancah yang kini masih dipimpin oleh Kades yang professional yaitu Amin, SE terus berupaya membangun demi Rancah yang makmur dah sejahtera rakyatnya. Kali ini redaksi ingin menuangkan bahasan tentang sejarah Rancah, walau mungkin masih jauh dari sempurna. Kalau meneliti sejarah asal-usul Rancah dari beberapa sumber, jelaslah usia Rancah lebih tua dari Ciamis. Kenapa bisa seperti itu? Menurut sumber Distrik Rancah yang sebelumnya bernama Distrik Keppel terbentuk pada tahun 1840-an. Sedangkan Ciamis baru dikenal tahun 1915. Karena sebelumnya Ciamis bernama Kabupaten Galuh, dan selanjutnya baru dirubah namanya menjadi Ciamis pada tahun tersebut. Malah menurut sumber lain pada masa kerajaan, di Rancah telah berdiri kerajaan GALUH RANCAH Tahun 1625 M yang terletak di Citapen Rancah, konon Rajanya Prabu Gajah Cangong (Putra Sareupeung Agung). 
Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1826) menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Sekarang timbul pertanyaan : Benarkah, Rancah lebih tua dari Ciamis? Ini sumbernya : Kabupaten Galuh pada abad ke-19. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 31 Mei 1844 No.1, Pada tahun 1830-an Kabupaten Galuh yang luasnya kurang lebih 522 pal persegi (1.185,4 km²) Sedangkan distrik di Kabupaten Galuh berjumlah empat, yaitu Ciamis,Panjalu,Kawali,dan Keppel. Di sini jelas Distrik Rancah belum terbentuk ataupun dikenal, baru pada tahun 1840-an, Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah. Saat itu, pada tahun 1837 jumlah desa di Kabupaten Galuh mencapai 91 desa. Pada tahun 1855 jumlah desa di Kabupaten Galuh meningkat menjadi 238 desa.

Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis

 Kerajaan Panjalu Ciamis


1 Batara Tesnajati
2 Batara Layah
3 Batara Karimun Putih
4 Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
5 Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I
6 Prabu Sanghyang Cakradewa
7 Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

   7.1 Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati
   7.2 Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA
   7.3 Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang
   7.4 Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur

8 Prabu Sanghyang Borosngora
9 Prabu Rahyang Kuning
10 Prabu Rahyang Kancana
11 Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko
12 Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana
13 Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya
14 Prabu Rahyang Kunang Natabaya
15 Raden Arya Sumalah
16 Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan
17 Raden Arya Wirabaya
18 Raden Tumenggung Wirapraja
19 Raden Tumenggung Cakranagara I
20 Raden Tumenggung Cakranagara II
21 Raden Tumenggung Cakranagara III
22 Raden Demang Sumawijaya
23 Raden Demang Aldakusumah
24 Raden Kertadipraja
25 Raden Hanafi Argadipraja
26 Hj. Nyi Raden Siti Maryam
27 Nyimas Raden Aisyah Rukmanah
28 Nyimas Raden Djohar Sry Kantini
29 Nyimas Raden Nina Tursina Irania
 

Batara Tesnajati

 Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah

 Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu.
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.


Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

 Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

Prabu Sanghyang Cakradewa

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:

1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) Sanghyang Borosngora,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).

Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu
itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.
Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.


Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

 Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).


Prabu Sanghyang Borosngora

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:

1) Rahyang Kuning, dan
2) Rahyang Kancana.

Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).


Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati

Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .

Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):

1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang,   di lereng Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.

Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).

 

Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA

Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).
Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara.
 

Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang

Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.

Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.

Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.

Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.

Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.
Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.

Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.

Pertemuan para raja di Gunung Rompang

Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :

1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.

Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.
Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.

 Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari


Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.

Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.

Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.

Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis.

Prabu Rahyang Kuning

Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.
Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.
Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat.
Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek).
Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah).
Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh.
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.

Prabu Rahyang Kancana

Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.

Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko

Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana

Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya

Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

Prabu Rahyang Kunang Natabaya

Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2) Raden Arya Sacanata, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.

Raden Arya Sumalah

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.

Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
Dua belas di antara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata "salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Raden Arya Wirabaya

Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.
Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis

Raden Tumenggung Wirapraja

Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara I

Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3) Raden Prajasasana, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.
Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
1) Raden Cakranagara II,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara II

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.
Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6) Raden Dalem Cakranagara III,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara III

Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten Panjalu.
Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.
Pada tahun itu Bupati Galuh Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah.
Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1) Raden Sumawijaya Demang Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu), penulis naskah Babad Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin (tersimpan di Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah.
Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

Raden Demang Sumawijaya

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1) Raden Aldakusumah,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Raden Demang Aldakusumah

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:
1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Raden Kertadipraja

Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
1) Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Aminah - Adkar (Cirebon),
3)Nyi Raden Hasibah - Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
4) Nyi Raden Halimah - Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
5) Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
6) Nyi Raden Aisah - Padma (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu)

Raden Hanafi Argadipraja

Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja, penulis catatan sejarah & silsilah Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah Suriaatmaja,
2) H. Raden Muhammad Tisna Argadipraja,
3) Raden Galil Aldar Argadipraja,
4) Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden Sukarsana Sadhi Pasha.

Sedangkan adik Raden Hanafi Argadipraja, yakni Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.

Hj. Nyi Raden Siti Maryam

Hj. Nyi Raden Siti maryam(Panumbangan) menikah dengan Eyang Mad Syahri(Panumbangan, Cibonteng) dan melahirkan sembilan orang anak, Yaitu:
1)Raden Sasmita,
2)Raden Elon Dahlan,
3)Nyimas Raden Ipoh Saripah,
4)Raden Endah Dahri,
5)Nyimas Raden Erum Atikah,
6)Nyimas Raden Zaenab Sukarsih,
7)Nyimas Raden Khotimah,
8)Nyimas Raden Aisyah Rukmanah,
9)Raden Rosyadi,

Nyimas Raden Aisyah Rukmanah

Nyimas raden Aisyah Rukmanah (Panumbangan), menikah dengan Raden Ade Sutisna (Desa Golat). Dan melahirkan lima orang putra-putri, Yaitu:
1)Nyimas Raden Djohar Sry Kantini,
2)Nyimas Raden Nina Tursina Irania,
3)Raden Tepi Nugraha Jayaprana,
4)Nyimas Raden Rika Gartika Gumilar,
5)Raden Taufik Fitra Jaya Burnama,

Nyimas Raden Djohar Sry Kantini

Nyimas Raden Djohar Sry Kantini(Desa Golat) menikah dengan Raden Muhammad Syafe'i (Cianjur), dan melahirkan dua orang putra-putri, Yaitu:
1)Nyimas Raden Gitta Fenny Sari,
2)Raden Panji Fenitra,
3)Raden Fandi

Nyimas Raden Nina Tursina Irania

Nyimas Raden Nina Tursina Irania(Desa Golat) menikah dengan Hassan Ridwan(Jakarta) dan melahirkan tiga orang putra-putri, yaitu:
1)Raden Aldy Agustiar Ridmansyah,
2)Nyimas Raden Annisa Septiani Nur Faridah,
3)Nyimas Raden Azizah Zahra Ulfah,

Referensi

  • Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
  • Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
  • Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Babad Tanah Jawi (terj). 2007. Yogyakarta: Narasi.
  • Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.
  • Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
  • Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
  • Muljana, Slamet. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
  • Munoz, Paul Michel. (2006). Early Kingdoms of Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet Pte Ltd.
  • Suganda, Her. Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
  • Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
  • Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  • Sutarwan, Aam Permana. Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
  • Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
  • Sumaryadi, Sugeng. Sejarah Panjang yang Terus Dikenang. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
  • Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.

diambil dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Silsilah_Penguasa_Kerajaan_Panjalu_Ciamis