Selasa, 06 Januari 2015

Sejarah Kawali

Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Tantang penobatan Susuktunggal di Pakuan menurut Atja dan Ekadjati (1989:142), sebagai berikut : “setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan  Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Yoseph Iskandar – hal. 230).
Pembagian tahta Sunda sama sekali tidak memutuskan hubungan kekerabatan keturunan dari Wastu Kencana, bahkan politik kesatuan wilayah dibangun telah membuat jalinan perkawinan antar putra-putri keduanya yang masih terbilang sebagai cucu Wastu Kencana. Hal ini sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal.
Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Ki Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Ki Gedeng Kasmaya menjadi penguasa tersebut menggantikan mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).
Ngarumpak Larangan
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan.
Dari masing-masing kisah tersebut sebenarnya dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Pada periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar, ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.
Kisah akhir dari suatu kerajaan di pulau Jawa tentunya hampir sama, antara lain melahirkan mitos-mitos yang terkait dengan kondisi sang raja atau keluarganya. Misalnya, munculnya mitos tentang Sabda Palon di Majapahit dan Wangsit Siliwangi di Pajajaran. Kedua mitos tersebut ditafsirkan sedemikian rupa dan ditautkan dengan kondisi kekinian, pada akhirnya melahirkan paradigma tentang akan munculnya Ratu Adil.
Mitos selanjutnya yang muncul juga dikaitkan dengan kisah Ratu Kidul yang sangat melegenda. Didalam RPMSJB menjelaskan, bahwa : Bondan Kejawan, putra Kertabumi dari selirnya, Wandan Bondr Cemara, mengungsi ke Mataram. Ia kemudian memperistri Nawangwulan ratu Mataram yang juga disebut Ratu Kidul. Dari perkawinan ini lahir Ratu Angin-angin atau Ratu Kidul yang kelak diperistri oleh Sutawijaya pendiri kerajaan Mataram”. (Jilid Ketiga, hal 51).
Memang agak sulit melacak kebenarannya, mengingat hanya beredar di kalangan masyarakat tradisional dalam bentuk sejarah lisan, pantun atau babad yang sarat dengan simbol-simbol, masih perlu ditafsirkan. Namun biarlah masalah tersebut hidup terus. Paling tidak dapat menjelaskan adanya ikatan sejarah dan benang merah antara masa kini dengan kearifan masa lalu.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Wanita terlarang (Istri larangan) di dalam tradisi Sunda pada masa itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Sejatinya suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi, karena suatu larangan tanpa sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak memiliki alat pemaksa. Demikian pula di dalam hukum adat, seseorang akan dikenakan sanksi jika ia melanggar keseimbangan adat, dalam hal ini ada ketentuan adat yang dilanggar Dewa Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.
Peristiwa pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya tetsebut diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
·         Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :
  • ·         //sang ningrat kancana / a-
  • ·         Thawa prabhu dewa niskala/
  • ·         Madeg ratu ghaluh pakwan
  • ·         Ing (1397-1404) ikang ca-
  • ·         Kakala//lawasnya/pitung warca/
  • ·         Mapan sira kawilang sang sa-
  • ·         Lah mastri lawan wanodya
  • ·         Sakeng wilwatikta/

(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis (hulanjar) dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].
Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.
Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lainnya memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :
  • ·         Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya.
  • ·         Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
  • ·         “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.”
  • ·         Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
  • ·         Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama.
  • ·         Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Dari Kawali ke Pakuan.
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda menurut versi sejarah resmi terjadi akibat perselisihan penguasa Galuh dengan Sunda yang cenderung memutuskan hubungan kekerabatan keraton Surawisesa dan Pakuan. Hal tersebut dipicu oleh Dewa Niskala yang dianggap melanggar larangan dengan menikahi Hulanjar dan istri larangan. Untung saja Wastu Kancana sebelumnya telah mempersiapkan Jayadewata, cucunya untuk meneruskan tahta Sunda. Jika saja tidak dipersiapkan dimungkinkan hubungan Sunda dengan Galuh akan kembali sebagai hubungan sebelum dilakukannya perjanjian Galuh di Purasaba.
Jayadewata pada waktu itu masih berposisi sebagai Putra Mahkota Sunda Kawali dan sebagai Prabu Anom di Pakuan. Gelar Prabu Anom berdasarkan pada garis kekerabatan setelah menikah dengan putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Putra Mahkota karena ia putra dari Dewa Niskala.
Jayadewata sebelumnya melakukan pernikahan dengan dua cucu Wastu Kancana lainnya, yakni Ambetkasih, putri Gedeng Sindang Kasih dan Subanglarang, putra Gedeng Tapa. Pada masa itu ia masih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa,
Lalampahan Jayadewata di Cirebon ditafsirkan para sejarawan untuk menimba ilmu kenegaraan dan mendapat pengalaman lain sebagai bekal dikemudian hari. Kisah Sang Pamanah Rasa di dalam cara mendapatkan Ambetkasih di Sindangkasih misalnya, digambarkan sejarawan tradisional dengan sangat dramatis, bagaimana ia dapat mengalahkan Amuk Murugul yang sakti mandraguna dalam suatu lomba tanding satria, ia pun menyamar dengan nama Keukeumbing Rajasunu. Kisah ini dapat ditemukan dalam cerita pantun yang syarat dengan simbol-simbol. Namun dalam dunia nyata memang kedua tokoh benafr adanya. Amuk Murugul kemudian Menjadi raja Singapura (Cirebon) sedangkan Sang Pamanah Rasa menjadi raja Pajajaran.
Didalam kisah lainnya Subanglarang adalah Santriwati dari Pondok Quro Karawang, dari pernikahan tersebut lahir Walangsungsang. Putra dari Subanglarang kemudian menjadi penyebar agama Islam di Cirebon. Namun didalam naskah Wangsakera, Walangsungsang dianggap cucu dari Jayadewata.  Dari epos sejarah ini banyak kisah dalam bermacam versi, Misalnya dikisahkan Jayadewata (Prabu Siliwangi) dikejar-kejar putranya supaya pindah ageman, bahkan tak kurang yang mengidentifisir Walangsungsang sebagai Kian Santang. Kekeliruan identifikasi ini berhenti sejenak setelah para penafsir mengalihkan nama Kian Santang kepada Sunan Rokhmat yang dimakamkan di Godok Garut, namun kisah ageman Prabu Siliwangi sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang menarik.
Rupanya kebesaran nama Prabu Siliwangi memang sangat menarik untuk diperbincangkan, tak pernah habis-habisnya, karena masyarakat tradisional di Jawa Barat seolah-olah tidak mau melepaskan kisah raja-raja Sunda jika tidak mengaitkan dengan nama Prabu Siliwangi. Akibatnya banyak versi dan banyak kisah, seolah-olah Prabu Siliwangi adalah raja Sunda seluruh jaman dan tokoh untuk semua kisah serta versinya.
Jayadewata adalah penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan. Pada masa muda lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala, yang mewarisi tahta ayahnya di Galuh. Sebagai raja Sunda di Galuh ia bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian mewarisi tahta mertuanya di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisahnya jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.
Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :
·         OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
·         diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri
·         baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de-
·         wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis-
·         kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu
·         ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
·         ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga
·         rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan-
·         dawa (m) bumi OO
Terjemaahan
[Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].
Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :
·         Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Yoseph, hal. 226)
Dari dua kali pengangkatannya tersebut tentunya membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Kisah pengangkatannya di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan “disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, namun yang sering disebut-sebut oleh para sejarawan adalah Sang Pamanah Rasa, Sri Baduga Maharaja dan Prabu Siliwangi. Masyarakat di tatar Sunda merasa teu wasa untuk menyebut gelarnya, bahkan ada yang menganggap tidak sopan, sehingga dalam cerita Pantun dan Babad lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Suatu gelar yang diberikan kepada raja Sunda yang berjasa besar, yakni Prabu Wangi, diberikan kepada Prabu Maharaja yang gugur dalam palagan Bubat dan Prabu Wangisuta, gelar untuk Prabu Niskala Wastu Kancana.
Alasan lain tentang nama Sri Baduga disebut Siliwangi, menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia menggantikan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Dalam Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :
·         “Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”
(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]
Penulis Carita Parahyangan menyebutnya dengan nama Sang Ratu Jayadewata. Kisah tersebut, sebagai berikut :
  • ·         Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
  • ·         Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.

Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda. Tentunya berhubungan dengan Prasasti Kawali yang menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar