naskah sunda kuno astana gede kawali ciamis
Kawali
tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda jika di tempat
ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui keabsahannya.
Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat di
Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah
yang ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar
atau nipah dengan menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan
menggunakan daun lontar dan pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya
pada waktu untuk melahirkan karya-karya sastra sunda buhun. Umumnya
naskah yang ditulis di dalam lontar, bahasa maupun aksaranya, lebih muda
usianya dari inskripsi (Kata-kata yang diukir pada batu, monument
dsb-Red) yang tercatat pada batu tulis yang menggunakan hurup Pallawa
dengan
bahasa Sansekerta dan Sunda kuno
Menurut para peneliti naskah Sunda seperti Prof.Dr. Edi S. Ekadjati,
Drs. Undang A.Darsa dan Mamat Ruhimat S.S. sebetulnya keberadaan naskah
sunda diperkirakan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 2000 naskah yang
tersebar menjadi koleksi lembaga penyimpanan naskah di dalam maupun di
luar negeri. Sebagian lagi terdapat di perorangan. Sebagian besar
naskah-naskah tersebut usianya lebih muda dan terbuat dari bahan seperti
janur, daun enau, pandan, daluang maupun dari kertas Belanda. Dengan
jenis aksara Arab, Carakan, Pegon, dan Latin. Sedangkan bahasanya
menggunakan Bahasa Arab, Jawa Tengahan, Sunda Baru, Melayu dan Belanda.
Sedangkan jumlah naskah kuno yang ditulis diatas daun lontar kurang
lebih berjumlah 100 naskah dan hampir 80 % belum tersentuh oleh peneliti
(Filolog). Dan naskah-naskah sunda kuna yang ditulis dalam lontar
tersebut merupakan naskah yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi
karena factor bahasa dan aksaranya yang menggunakan bahasa Sunda kuno
dan Jawa Kuno karena lebih dari 250 tahun kedua bahasa dan aksara
tersebut tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat sunda.
Disamping itu pemilik perorangan naskah sunda kuno umumnya masih
ketakutan untuk menyetorkan naskah tersebut ke pemerintah dikarenakan
sebagai peninggalan leluhurnya harus dipusti-pusti sebaik-baiknya tanpa
pernah membuka atau mempelajari isi teksnya. Padahal naskah-naskah
tersebut sangat penting untuk diteliti dan disebarkan kepada masyarakat,
sebagai bukti adanya tingkat peradaban sunda di masa silam yang
tertuang dalam isinya, baik itu berupa hasil pemikiran maupun referensi
sejarah yang tercatat.
Naskah-Naskan Kuna yang berhasil ditemukan di Kawali dan kini
disimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional dengan menggunakan no
kode kropak. Dan yang sudah di terjemahkan serta diberi judul
diantaranya ialah Carita Parahyangan (kropak406), Sang Sewaka Darma (kropak 408), Sunan Gunung Jati
(kropak 420), Naskah yang berisi teks campuran atau Gemengd (kropak
421), Naskah Jatiraga (kropak422) dan Darmajati (kropak 23). Sedangkan
yang belum teridentifikasi adalah naskah kropak 407, Kropak 409, kropak
411, Kropak 412, Kropak 413, Kropak 414, dan Kropak 415.
Semua naskah kuno tersebut ditulis antara tahun 1099 M sampai tahun
1579 M yaitu maswa sebelum pra Islam. Dalam naskah Carita Parahyangan
tertulis candrasangkala ekadasi suklapaksa wesakamasa 1591 ikang
sakakala atau sekitar 6 Mei 1979 M yang merupakan masa setelah Pajajaran
Sirna Ing Bumi. Sedangkan naskah Sewaka Darma tertulis candrasangkala
nanu namas haba jaja atau sekitar tahun 1099 M. Khusus mengenai Naskah
Sunan Gunung Jati ternyata isinya bukanlah menceritakan tentang pendiri
kerajaan Islam di Cirebon yang bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati). Kandungan teksnya sama sekali tidak mengemukakan tentang ajaran
Islam sedikitpun melainkan membahas tentang pengaruh ajaran Hindu-Budha .
Nama Gunung Jati ternyata merujuk pada nama lokasi tempat kedudukan
Bungawari di alam kahyangan.
KABUYUTAN ASTANA GEDE PUSAT KEAGAMAAN DAN INTELEKTUAL
Naskah-naskah sunda kuno selama ini keberadaannya kurang
terpublikasikan sehingga masyarakatpun banyak yang tidak tahu tentang
gambaran lengkap kebudayaan sunda di masa lalu. Padahal kandungan
naskah-naskah tersebut selain catatan nama-nama penguasa dan kejadian
pada jamannya juga berisi ajaran dan petuah yang isinya masih
kontekstual dengan jaman kiwari. Salah satu naskah tersebut adalah
Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berisi ajaran bimbingan
hidup agar mencapai kebahagiaan. Naskah ini mempunyai candrasangkala
nora catur sagara wulan atau tahun 1518 M. Selain berisi ajaran
kehidupan, naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang
pemerintahan, kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika,
militer, dan lain-lainnya.
Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu Siliwangi
(1482-1521 M) dan berfungsi juga sebagai pedoman dalam tatacara
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah cucu dari Prabu
Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . Saat masih
kecil Sri Baduga tinggal yaitu di Keraton Surawisesa yang terletak di
Kawali. Sedangkan Kawali pada abad 14 dan 15 merupakan ibukota kerajaan
Galuh dan Kerajaan Sunda. Wastu Kancana merupakan salah satu raja yang
terkenal dengan ajaran karahayuannya sehingga berhasil meneruskan
kebesaran nama ayahnya Prabu Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di
Bubat.
Ajaran atau filsafat kakeknya yang sarat dengan kebijakan dan
kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin
kerajaan Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau
Sang Pamanah Rasa atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda
yang sukses mengelola negaranya. Siksa Kandang Karesian boleh jadi
berisi pemikiran-pemikiran Sri Baduga yang dirangkum oleh seseorang
dalam sebuah buku. Sri Baduga kemudian lebih dikenal sebagai Prabu
Siliwangi.
Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede karena tempat
tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat
kegiatan keagamaan dan intelektual. Salah satu kegiatan intelektual
tersebut adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah
lontar. Selain itu kabuyutan berfungsi juga menyimpan naskah-naskah yang
berasal dari kabuyutan lain. Seperti dari Kabuyutan Panjalu, Kabuyutan Pakuan Pajajaran, Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, maupun Kabuyutan Cikuray dan kabuyutan Karangkamulyan.
Indikasi tersebut salah satunya dapat dilihat dari penulis naskahnya.
Kai Raga adalah penulis naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan
kropak 419. tokoh ini menyusun naskah-naskah tersebut di pertapaan Suta
Nangtung di Gunung Larang Srimanganti yang merupakan salah satu Puncak
Gunung Cikuray. Namun ternyata salah satu naskahnya ( Darmajati)
ditemukan di Kabuyutan Astana Gede Kawali.
Adanya naskah-naskah di Kabuyutan Kawali pertama kali diketahui umum
setelah muncul buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit
Oost-Indie karangan seorang Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang
bekerja di Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier.
Dalam bukunya, ia bersama rombongannya menyaksikan keberadaan
naskah-naskah berbahasa kawi ketika mengunjungi Kawali dan wilayah
priangan lainnya (Desember 1821 – 1827). Naskah beserta benda budaya
lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja Pajajaran dan saat
itu pemeliharaannya berada dibawah
perlindungan Raden Tumenggung Adipati Adikusumah sebagai bupati Galuh
yang memerintah pada tahun 1819 – 1839. Seluruh Anggota rombongan tidak
ada yang mampu membaca naskah-naskah tersebut. tetapi ada salah seorang
anggota rombongan yang bernama J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah
tersebut.
R.A.A. KUSUMADININGRAT PENYELAMAT NASKAH SUNDA KUNO
Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang tersimpan
di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan Pajajaran
yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan
Islam dari Cirebon dan Demak banyak pembesar kerajaan dan rakyatnya yang
mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk
Kawali. Hal ini berdasarkan keterangan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda
yang bernama J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen
en merkwaardigheden uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal
Menarik dari Hindia Timur). Ia sendiri masih menyaksikan keberadaan
sejumlah prabotan dan barang lainya yang dibawa oleh pengungsi, termasuk
diantaranya adalah naskah-naskah kuno.
Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan naskah
kuno tersebut kepada C.M. Pleyte. Akhirnya Pleyte berhasil mengkoleksi
13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede. Naskah-naskah tersebut
diserahkan oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu
memerintah sebagai Bupati Galuh tahun 1839-1886. R.A.A. Kusumahdiningrat
adalah seorang bupati yang memiliki haluan maju serta memiliki
perhatian besar terhadap pembangunan termasuk bidang kebudayaan.
Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi sesudah tanggal 10 Mei
1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria. Sebelumnya tokoh ini
berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV. Ayahnya adalah
Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada tahun
1819 – 1839 dan sempat bertemu dengan J.Olivier
Tahun 1800-an di Batavia telah berdiri Bataviasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian dan Ilmu
Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW. Koleksi Pleyte kemudian di
serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti. Ternyata selain R.A.A.
Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan
naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke
BGKW adalah pelukis terkenal Raden Saleh. Hal tersebut diumumkan oleh
K.F. Holle dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige
Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh
aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten
geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali.(Berita
Singkat tentang beberapa Naskah Lontar yang Berasal dari Tatar Sunda,
yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah kepada BGKW beserta salinan
Prasasti Kawali).
Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di Batavia
(Jakarta). Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle
ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa
Kandang Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631).
Prasasti Kabantenan dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil
pengumpulan Raden Saleh yang diserahkan kepada BGKW. Institusi ini
memang sejak tahun 1845 melakukan kegiatan rutin untuk mencari dan
mengkoleksi benda-benda budaya termasuk prasasti dan naskah.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26 Januari 1950
BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum yang
dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium
Nasional. Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya dipisahkan menjadi
lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional. Di
tempat itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang berasal dari Kabuyutan
Astana Gede tersimpan dengan keheningannya.
kalo menurut saya naskah naskah yg lain mungkin telah di hancurkan semasa demak, dan mataram,, seolah olah mataram islam lebih agung,, sejak era mataram kuno gak pernah invasi ke barat ya karna sanjaya pendiri mataram kuno adalah raja galuh,,
BalasHapus