Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang
berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh
dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475,
kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa
diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala
sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh
Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Tantang penobatan Susuktunggal di Pakuan menurut Atja dan Ekadjati
(1989:142), sebagai berikut : “setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal
menjadi raja di Pakuan Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun
1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia
wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang
sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371
menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati
(Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya
ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja
wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi
rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Yoseph Iskandar – hal. 230).
Pembagian tahta Sunda sama sekali tidak memutuskan hubungan
kekerabatan keturunan dari Wastu Kencana, bahkan politik kesatuan
wilayah dibangun telah membuat jalinan perkawinan antar putra-putri
keduanya yang masih terbilang sebagai cucu Wastu Kencana. Hal ini
sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan Jayadewata, putra Dewa
Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal.
Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang
Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana
menikah dengan putri Giri Dewata alias Ki Gedeng Kasmaya putra Sulung
Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja
daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Ki Gedeng Kasmaya menjadi
penguasa tersebut menggantikan mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).
Ngarumpak Larangan
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas
dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di
Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak
larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan
dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan
jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak
(Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan
tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam
versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan
didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala
yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar
dan sekaligus istri larangan.
Dari masing-masing kisah tersebut sebenarnya dapat disimpulkan,
bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas,
pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang
disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas,
dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal
yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah
Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Pada
periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan keseimbangan dengan
membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang
memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan
Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi
Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar, ketika
Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak
larangan.
Kisah akhir dari suatu kerajaan di pulau Jawa tentunya hampir sama,
antara lain melahirkan mitos-mitos yang terkait dengan kondisi sang
raja atau keluarganya. Misalnya, munculnya mitos tentang Sabda Palon di
Majapahit dan Wangsit Siliwangi di Pajajaran. Kedua mitos tersebut
ditafsirkan sedemikian rupa dan ditautkan dengan kondisi kekinian, pada
akhirnya melahirkan paradigma tentang akan munculnya Ratu Adil.
Mitos selanjutnya yang muncul juga dikaitkan dengan kisah Ratu
Kidul yang sangat melegenda. Didalam RPMSJB menjelaskan, bahwa : Bondan
Kejawan, putra Kertabumi dari selirnya, Wandan Bondr Cemara, mengungsi
ke Mataram. Ia kemudian memperistri Nawangwulan ratu Mataram yang juga
disebut Ratu Kidul. Dari perkawinan ini lahir Ratu Angin-angin atau Ratu
Kidul yang kelak diperistri oleh Sutawijaya pendiri kerajaan Mataram”.
(Jilid Ketiga, hal 51).
Memang agak sulit melacak kebenarannya, mengingat hanya beredar di
kalangan masyarakat tradisional dalam bentuk sejarah lisan, pantun atau
babad yang sarat dengan simbol-simbol, masih perlu ditafsirkan. Namun
biarlah masalah tersebut hidup terus. Paling tidak dapat menjelaskan
adanya ikatan sejarah dan benang merah antara masa kini dengan kearifan
masa lalu.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula
dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara
di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit
mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga
keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang,
namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat
Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh
tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah
Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala.
Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu
Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh
di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar
sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama
halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih
bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Wanita terlarang (Istri larangan) di dalam tradisi Sunda pada masa
itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan dari Carita Parahyangan
dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah
dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria
lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah
Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar
belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi
oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005
: hal.196)
Sejatinya suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi,
karena suatu larangan tanpa sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak
memiliki alat pemaksa. Demikian pula di dalam hukum adat, seseorang akan
dikenakan sanksi jika ia melanggar keseimbangan adat, dalam hal ini ada
ketentuan adat yang dilanggar Dewa Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.
Peristiwa pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri
larangan, serta akibat dari perbuatannya tetsebut diabadikan oleh
penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
· Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung
tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka
awewe larangan ti kaluaran.
Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :
- · //sang ningrat kancana / a-
- · Thawa prabhu dewa niskala/
- · Madeg ratu ghaluh pakwan
- · Ing (1397-1404) ikang ca-
- · Kakala//lawasnya/pitung warca/
- · Mapan sira kawilang sang sa-
- · Lah mastri lawan wanodya
- · Sakeng wilwatikta/
(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh
Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung
bersalah memperistri gadis (hulanjar) dari Majapahit) [Yoseph Iskandar –
hal 321].
Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai,
sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan
Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh
kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja
Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian
terjadi ketegangan.
Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lainnya memang tak ada
‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat
baik, ia mencatatkan sebagai berikut :
- · Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya.
- · Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
- · “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.”
- · Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
- · Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama.
- · Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir
ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri.
Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada
Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal.
Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota
Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang
cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda
warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan
Jayadewata, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Dari Kawali ke Pakuan.
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda menurut versi sejarah resmi
terjadi akibat perselisihan penguasa Galuh dengan Sunda yang cenderung
memutuskan hubungan kekerabatan keraton Surawisesa dan Pakuan. Hal
tersebut dipicu oleh Dewa Niskala yang dianggap melanggar larangan
dengan menikahi Hulanjar dan istri larangan. Untung saja Wastu Kancana
sebelumnya telah mempersiapkan Jayadewata, cucunya untuk meneruskan
tahta Sunda. Jika saja tidak dipersiapkan dimungkinkan hubungan Sunda
dengan Galuh akan kembali sebagai hubungan sebelum dilakukannya
perjanjian Galuh di Purasaba.
Jayadewata pada waktu itu masih berposisi sebagai Putra Mahkota
Sunda Kawali dan sebagai Prabu Anom di Pakuan. Gelar Prabu Anom
berdasarkan pada garis kekerabatan setelah menikah dengan putrinya Prabu
Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Putra
Mahkota karena ia putra dari Dewa Niskala.
Jayadewata sebelumnya melakukan pernikahan dengan dua cucu Wastu
Kancana lainnya, yakni Ambetkasih, putri Gedeng Sindang Kasih dan
Subanglarang, putra Gedeng Tapa. Pada masa itu ia masih dikenal dengan
sebutan Sang Pamanah Rasa,
Lalampahan Jayadewata di Cirebon ditafsirkan para sejarawan untuk
menimba ilmu kenegaraan dan mendapat pengalaman lain sebagai bekal
dikemudian hari. Kisah Sang Pamanah Rasa di dalam cara mendapatkan
Ambetkasih di Sindangkasih misalnya, digambarkan sejarawan tradisional
dengan sangat dramatis, bagaimana ia dapat mengalahkan Amuk Murugul yang
sakti mandraguna dalam suatu lomba tanding satria, ia pun menyamar
dengan nama Keukeumbing Rajasunu. Kisah ini dapat ditemukan dalam cerita
pantun yang syarat dengan simbol-simbol. Namun dalam dunia nyata memang
kedua tokoh benafr adanya. Amuk Murugul kemudian Menjadi raja Singapura
(Cirebon) sedangkan Sang Pamanah Rasa menjadi raja Pajajaran.
Didalam kisah lainnya Subanglarang adalah Santriwati dari Pondok
Quro Karawang, dari pernikahan tersebut lahir Walangsungsang. Putra dari
Subanglarang kemudian menjadi penyebar agama Islam di Cirebon. Namun
didalam naskah Wangsakera, Walangsungsang dianggap cucu dari Jayadewata.
Dari epos sejarah ini banyak kisah dalam bermacam versi, Misalnya
dikisahkan Jayadewata (Prabu Siliwangi) dikejar-kejar putranya supaya
pindah ageman, bahkan tak kurang yang mengidentifisir Walangsungsang
sebagai Kian Santang. Kekeliruan identifikasi ini berhenti sejenak
setelah para penafsir mengalihkan nama Kian Santang kepada Sunan Rokhmat
yang dimakamkan di Godok Garut, namun kisah ageman Prabu Siliwangi
sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang menarik.
Rupanya kebesaran nama Prabu Siliwangi memang sangat menarik untuk
diperbincangkan, tak pernah habis-habisnya, karena masyarakat
tradisional di Jawa Barat seolah-olah tidak mau melepaskan kisah
raja-raja Sunda jika tidak mengaitkan dengan nama Prabu Siliwangi.
Akibatnya banyak versi dan banyak kisah, seolah-olah Prabu Siliwangi
adalah raja Sunda seluruh jaman dan tokoh untuk semua kisah serta
versinya.
Jayadewata adalah penguasa Sunda di Kawali yang kemudian
mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan. Pada masa muda lebih
dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala, yang
mewarisi tahta ayahnya di Galuh. Sebagai raja Sunda di Galuh ia bergelar
Prabu Guru Dewataprana. Kemudian mewarisi tahta mertuanya di Pakuan
dengan gelar Sri Baduga Maharaja.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari
prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisahnya jauh lebih
terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.
Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :
· OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
· diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri
· baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de-
· wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis-
· kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu
· ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
· ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga
· rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan-
· dawa (m) bumi OO
Terjemaahan
[Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia
dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia
dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri
Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak
Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat
tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu,
membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang
membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].
Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai
raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana
dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat
dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47,
sebagai berikut :
· Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewataprana
muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran
Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana.
Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja
Linggabhuanawicesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan
dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana.
Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa].
(Yoseph, hal. 226)
Dari dua kali pengangkatannya tersebut tentunya membuahkan
tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata
sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra
mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra
mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom
karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal,
yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Kisah pengangkatannya di dua kerajaan
tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan
penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka
kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah
pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun
oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan
Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443
saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa
pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan
“disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti
purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram
disebelah utara, selatan, barat dan timur”.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti
purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh
lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran
rasa aman.
Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata,
namun yang sering disebut-sebut oleh para sejarawan adalah Sang Pamanah
Rasa, Sri Baduga Maharaja dan Prabu Siliwangi. Masyarakat di tatar
Sunda merasa teu wasa untuk menyebut gelarnya, bahkan ada yang
menganggap tidak sopan, sehingga dalam cerita Pantun dan Babad lebih
dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Suatu gelar yang diberikan kepada
raja Sunda yang berjasa besar, yakni Prabu Wangi, diberikan kepada Prabu
Maharaja yang gugur dalam palagan Bubat dan Prabu Wangisuta, gelar
untuk Prabu Niskala Wastu Kancana.
Alasan lain tentang nama Sri Baduga disebut Siliwangi, menurut
Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia menggantikan Prabu Wangi
(Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Dalam Kertabahumi 1/5
h. 22/23 ditegaskan, :
· “Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring
nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan
sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng
Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”
(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda.
Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang
gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena
menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan
Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid
Keempat, h. 3]
Penulis Carita Parahyangan menyebutnya dengan nama Sang Ratu Jayadewata. Kisah tersebut, sebagai berikut :
- · Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
- · Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan
pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482
adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke
Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali
pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda. Tentunya berhubungan dengan
Prasasti Kawali yang menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di
kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai
“Dalem sipawindu hurip” yang berarti keraton yang memberikan ketenangan
hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar